Selamat Datang di Blog Pribadi Saya, Semoga teman teman betah disini.... jangan lupa isi buku Komentarnya...! Isi Blog dapat digunakan semua. silahkan ambil bila teman memerlukannya.

11 December 2009

Trauma Self-Healing?

Andrie Setiawan, IBH Certified Hypnotherapist

Salam Pemberdayaan,

Sahabat! Salam diatas adalah yang pertama kalinya saya ucapkan (baca: tuliskan) dibanding tulisan-tulisan saya terdahulu.

Pemberdayaan bukan penyembuhan. Lho Kok?

Ketika saya mengatakan penyembuhan, sahabat yang sedang dihadapan saya sekarang akan mencoba mencari informasi dalam pikiran masing-masing, yang kira-kira pertanyaan pada diri sendiri berkata seperti ini, "Memangnya saya sakit?" Atau bahkan menolak, "Ah..saya tidak sakit kok! Ada-ada saja kamu Ndrie!.
Pertanyaan atau pernyataan diatas bisa saja membahayakan pikiran kita, dan tanpa disadari pikiran bawah sadar kita terus aktif mencari informasi tentang apakah kita sakit atau baik-baik saja.

Kata Pemberdayaan nampak lebih elegan, terdengar lebih enak, dan terasa lebih nyaman, karena orang sehatpun butuh pemberdayaan.

Lalu kenapa judulnya Self-Healing? Itu sih satu teknik penulisan judul agar sahabat terus membaca, dan saya juga heran ketika Sahabat sampai pada kalimat ini, sahabat merasa perlu untuk melanjutkan membaca dan semakin ingin mengetahui apa pentingnya ini bagi Sahabat.

Sahabat...tentu masih ingat bahwa diri kita terdiri dari bagian-bagian, beberapa orang menyebutnya pikiran sadar dan bawah sadar dan beberapa orang lainnya menyebutkan bahwa bagian diri manusia lebih dari itu. Apa dan berapapun itu, tahukah sahabat bahwa bagian-bagian diri kita memiliki tugas yang sama yaitu melindungi diri kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan.

Maksudnya?

Begini...Silakan jawab pertanyaan ini dengan jujur! Pernahkah merasa malas bangun pagi untuk pergi bekerja? Jika jawabannya 'Ya' berarti sama, saya juga pernah merasakan hal itu. Pada saat rasa malas bangun itu muncul, bagian-bagian dari diri kita tanpa kita sadari bekerja dan biasanya saling bertentangan.

Satu bagian berkata, "Ayo bangun dan mulai bekerja lagi, jika tidak Bos nanti marah kalau kamu terlambat!"

Disisi lainnya, bagian lain dari diri kita menarik kearah berlawanan dan berkata, "Andrie, memangnya kamu gak capek padahal kamu bekerja sampai larut semalam. Tambah 10 atau 15 menit lagi deh, lumayankan supaya badan tambah segar."

Sahabat, dualisme (bahkan bisa juga multi-isme) pikiran ini sangat lazim terjadi, betul kan? dan mari kita telaah satu per satu. Pikiran yang menyuruh kita segera bangun, ingin melindungi kita dari omelan atasan, kerjaan yang makin bertumpuk, dan kehilangan kesempatan. Pikiran ini menginginkan kita menjadi sukses dalam bekerja.

Pikiran yang tetap menarik diri kita untuk tetap tinggal di atas tempat tidur yang nyaman yang dilengkapi mimpi indah (dengan efek suara Dolby Stereonya..he..he..) menginginkan tubuh kita memiliki waktu istirahat yang cukup agar tetap sehat dan bugar.

Lihat! Dua-duanya ingin melindungi kita. Lalu apakah kita harus memilih salah satu dan melawan yang lainnya?

Bisa saja kita lakukan itu, tapi apa yang terjadi kemudian. Ketika kita memilih segera bangun dan melawan keinginan istirahat kita, pikiran "Bangun" akan merasa menang dan pikiran "istirahat" akan ngambek, sehingga ia tidak akan memberikan signal ketika kita membutuhkan istirahat dan dampaknya...bum...jatuh sakit tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.

Sebaliknya ketika kita memilih pikiran "Istirahat" dan mengabaikan pikiran "segera bangun", pikiran kita akan terbentuk pola bangun siang dan konsekuensinya jadi Mr/Miss Telat dan bisa dipastikan masalah pekerjaan akan bertambah.

Lalu...Bagaimana solusinya? Melawan salah satunya sama saja mencederai diri sendiri, karena sebuah masalah seolah-olah selesai tetapi masalah lainnya akan timbul. Caranya adalah berdamai antara pikiran yang satu dengan yang lainnya.

Pada saat ingin berangkat kerja, mintalah pada pikiran "Istirahat" untuk memahami betapa pentingnya pekerjaan ini bagi diri kita dan berjanji selesai pekerjaan kita akan beristirahat, dan minta pikiran "segera bekerja" untuk memberi tanda begitu waktu kerja telah tiba. Untuk berdialog dengan bagian-bagian diri kita dibutuhkan kondisi hypnosis, yaitu kondisi dengan tingkat sugestibilitas yang tinggi.

Mengatasi Trauma

Bagaimana dengan megatasi trauma. Mekanisme terjadinya trauma juga sama seperti kejadian diatas. Satu bagian menyadari bahwa trauma sesuatu akan mengganggu kehidupannya, sedangkan bagian lainnya tetap menyimpan trauma tersebut agar kita tetap waspada dan kejadian traumatik tersebut tidak terjadi lagi pada orang yang mengalami trauma. Artinya lagi bahwa kedua-duanya memiliki fungsi yang positif, tetapi tetap saja orang yang mengalami trauma merasa terganggu.

Rasa Berani dan Rasa Takut! Keduanya berfungsi sama yaitu untuk melindungi diri (kita). Jika kita takut pada sesuatu, apakah caranya dengan melawan rasa takut tersebut?....Ya' benar sahabat! yang dilakukan adalah bukan melawannya melainkan berdamai dengan rasa takut itu.

Pada sebuah sesi Group "Therapy" pasca gempa, sang "therapist" memotivasi (sugesti) dengan kata-kata Berani, Keberanian, Optimis, dan lain-lain yang positif. Apakah "therapis" itu salah? Tidak! namun ia tidak sadar bahwa dengan mempromosikan rasa berani, rasa takut kembali melawan. Rasa takut beberapa teman malah muncul kembali, dan sebetulnya, termasuk saya. Namun rasa takut kembali netral setelah saya gunakan beberapa teknik yang saya ketahui. Lalu bagaimana dengan teman-teman yang lain? Satu orang teman yang memang menjadi saksi mata kejadian gempa yang mengenggut banyak jiwa itu tak tahan dan lari ke luar ruangan.. Pasti merasa tidak nyaman.

Kompromi antara rasa takut dan rasa berani dengan memaknai ulang kejadian traumatis.

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi trauma adalah dengan hypnotherapy, yaitu dengan menyadari bahwa rasa takut itu ada dan mengumpulkan kembali sumber daya rasa berani dalam diri.

Yang dimaksud dengan sumber daya rasa berani adalah perasaan kita pada saat tertentu dimana kita merasa berani, misalnya sebagai seorang trainer, saya memiliki perasaan berani dengan mengendalikan rasa takut sebelum masuk kelas yang berisi para Leader yang saya lihat tidak semua trainer berani berdiri didepan orang-orang tersebut. Yang penting segala kejadian yang melibatkan perasaan berani kita kumpulkan kembali.

Lalu bagaimana dengan rasa takut tadi? Sahabat, sadarilah bahwa rasa takut itu adalah manusiawi, dan semua manusia memilikinya, walaupun kadar dan bentuknya berbeda-beda, artinya memiliki rasa takut tidak menjadi masalah. Rasa takut yang timbul akibat gempa dapat dimaknai ulang, misalnya, tidak semua orang mengalami kejadian yang menakutkan ini, dan kita disini, semua, telah lolos dari kejadian maut tersebut, artinya Tuhan masih menyayangi kita dan Tuhan ingin kita dapat membagi pengalaman kita pada orang-orang yang tidak mengalaminya. Sehingga kejadian ini terasa sebagai pengalaman spiritual yang lebih mendekatkan kita pada Yang Maha Kuasa.

Teknik serupa saya lakukan untuk membantu seorang kerabat dekat yang trauma pasca perawatan Rumah Sakit.

Seorang kerabat dekat pernah dirawat di sebuah Rumah Sakit karena gangguan pernapasan. Sesak napasnya timbul ketika cuaca dingin, dan pikiran bawah sadarnya men-generalisasi cuaca dingin dengan segala sesuatu yang membuat anggota tubuhnya dingin, bahkan ketika orang lain merasakan semilir angin, ia merasakan angin tersebut sebagai pemicu sesak napasnya. Tetapi setelah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang, perasaan khawatir gangguan itu datang lagi-tetap ada, hal ini membuatnya takut keluar rumah tanpa ditemani anggota keluarga dan membuatnya mengambil cuti panjang sekitar 5 bulanan.

Setelah sedikit wawancara, memang yang saya dapati gangguan sesak napasnya lebih disebabkan oleh Psikis. Satu hal lain, ia sangat fokus dengan rasa khawatirnya, sehingga itulah yang menyebabkan gangguan pernapasan kembali datang dan ia sangat membutuhkan dukungan keluarga orang-orang disekitarnya.

Yang saya lakukan kemudian adalah mengalihkan fokusnya bahwa ia adalah orang yang memiliki kebahagiaan dan hidup yang sempurna, karena ia memiliki istri yang baik hati yang selalu mendukungnya untuk "kesembuhannya", ia juga memiliki anak yang baik sehingga seharusnya ia tidak memikirkan diri sendiri (baca: traumanya) saja tetapi pikirkan lah kehidupannya yang bahagia dan membahagiakan.

Yang berikutnya adalah memaknai ulang kejadian yang awalnya ia anggap sebagai "penyakit" yang menyebabkan ia tidak bekerja selama 5 bulan. Sederhana...hanya dengan satu pertanyaan, "Hal penting apa yang kamu dapatkan dari kejadian ini, 5 bulan dirumah?" Ia menjawab, "Saya lebih banyak beribadah Ndrie, Lebih dekat keTuhan, semakin merasa dekat, semakin mudah mengikhlaskan kejadian ini." Ia menjadi sangat religius.

....SWISH....mendengar pernyataannya saya menganggap ia sudah berhasil mengembalikan keyakinannya dan yang perlu saya lakukan dengannya adalah latihan mental, yaitu mengajak ia berkendaraan dari rumah menuju kantornya dalam pikirannya. Latihan ke-3 selesai setelah memberikan "kunci" yaitu hal yang dapat ia lakukan sendiri jika gangguan datang lagi dan itu adalah sesi terakhir dari sesi pemberdayaan pikirannya.

Kabar terakhir, istrinya menginformasikan bahwa ia (baca: semangatnya) sudah hampir pulih seratus persen dan telah kembali bekerja dan bertanggungjawab sebagai kepala keluarga.

Alhamdulillah, Segala Puji Bagi Engkau yang memiliki Pengetahuan dan Maha Mengetahui dan Maha Menyembuhkan!


Kesimpulan

Menetralkan trauma bisa saja menggunakan teknik regresi; yaitu kembali pada kejadian yang membuat trauma, tetapi tentu dengan teknik yang benar, jika tidak yang terjadi rasa traumanya malah bertambah. Dan dalam mengatasi (Bukan melawan) trauma, saya sepakat dengan Pak Wiwoho dalam bukunya NLP in Action, bahwa trauma tidak boleh dihilangkan karena bagaimanapun, itu adalah bagian dari kehidupannya, maka Menetralkan (Mengatasi) Trauma menjadi jawaban yang lebih baik.


Salam Pengembara,